#BaturTimur sudah mulai bosan baca narasi tentang destinasi pantai dan Gili-gili di pulau Lombok? Baiklah, yuk kita coba pindah bahasan ke salah satu destinasi budaya yang ada di Lombok yaitu desa adat suku Sasak, desa wisata Sasak Ende.
Serasa kembali ke masa lalu, kamu akan disambut suasana damai dan adem saat memasuki Desa yang terletak di kecamatan Pujut, Lombok Tengah ini. Di pintu masuk ada gapura besar berwarna cokelat dengan paduan pohon pohon hijau memang benar terlihat sangat serasi dengan wajah desa adat Sasak Ende yang didominasi warna cokelat.
Eh, tapi jangan keliru yaa. Gapura yang kamu lihat di pintu masuk bukan simbol rumah suku Sasak, itu adalah bentuk dari lumbung padi. Model lumbung padi ini juga sangat digemari sebagai motif kain tenun. Tentu saja ada alasannya, karena simbol lumbung menandakan kesuburan. Nah, rumah suku Sasak yang super asli namanya “Bale Tani”, rumah yang ditinggali oleh masyarakat itu sendiri, beda dengan “Bale Lumbung” yang berisi padi hasil panen.


Desa wisata yang tidak jauh dari Bukit Merese dan lingkar KEK Mandalika ini semakin terasa ikonik, karena tidak ada bangunan tinggi di Desa ini, semuanya benar-benar tradisional tanpa cat mencolok. Bagaimana tidak, disini warganya dilarang untuk membuat bangunan modern demi menjaga tradisi leluhur. Jadi, jikalau ada warga yang ingin membangun rumah modern, dia harus membangunnya di Desa berbeda. Selain itu bisa dipastikan 90% yang ada di desa ini benar benar jauh dari unsur modern.Sejauh matamu memandang, kamu dengan jelas dapat melihat rumah yang bentuknya “persis” sama dengan rumah ratusan tahun lalu. Penduduk Desa Ende memang tidak akan membangun rumah yang berlawanan arah dan ukurannya berbeda dari bentuk sebelumnya.
5 Alasan Bale Tani di desa Sasak Ende apik dan eksotis
Kamu pasti akan terkagum-kagum melihat bentuk bangunan Bale Tani. Bagaimana mungkin para leluhur dengan penuh perhitungan, sarat dengan makna filosofis membangun sebuah tempat tinggal yang menyatu dengan simfoni alam. Mungkin juga, tidaklah berlebihan kalau suku Sasak di Desa Ende ini memang adalah karya apik nan cerdas dari para leluhur.
Bangunan eksentrik yang dalam proses pembuatannya dilakukan secara gotong royong ini tersebar dalam tanah selebar 1 hektar dengan ukuran yang berbeda-beda, ada yang 3.5 x 6 m, 4 x 5m, dan 5 x 7m, dengan bentuk yang seragam. Atap rumah terbuat dari ilalang kering, dipadu dengan tembok rumah yang menggunakan anyaman bambu, dengan lantai tanah. Bukan hanya material bahan bagunannya unik, tapi juga arsitekturnya yang kaya akan makna filosfis dalam hidup. Misalnya,
1. Rumah adat Sasak Ende: Atap dengan kemiringan khusus.
Jika tempat penyimpanan padi memiliki atap yang tinggi dengan kolong, maka rumah yang ditinggali masyarakat setempat punya atap yang hampir menyentuh tanah, rata rata tingginya sekitar 1 sampai 2 meter dari permukaan. Tentu saja ada alasan mengapa atapnya sangat dekat dengan tanah, selain dimaksudkan untuk mengatur aliran air hujan dan menghormati privasi si pemilik rumah, namun juga untuk mengingatkan bahwa hidup harus selalu rendah hati, walaupun berada dalam posisi tinggi. Karena dari ilalang kering, atap akan diganti secara berkala sekitar 5-8 tahun tergantung kondisi cuaca dan kerusakan yang terjadi.

Kamu juga pasti setuju jikalau para leluhur Desa Sasak Ende juga spertinya sudah tahu, jika pulau yang mereka tinggali berada pada lempengan aktif lingkaran api yang membuat Lombok terbiasa dengan gempa. Atap ilalang yang alami dengan kemiringan rendah ini tentu saja tidak akan rubuh hanya karena gempa, pastinya sangat aman untuk penghuninya.
2. Rumah adat Sasak Ende: Lantai dengan tanah liat.
Walaupun atapnya cukup rendah berlantai tanah, rumah di Desa Sasak Ende tidak sepenuhnya menyatu dengan tanah. Ada beberapa undakan dari batu kali yang disemen dengan kotoran sapi untuk merekatkan bangunan. Sehingga jarak antara tanah dengan lantai utama sekitar ½ meter. Jarak ini pastinya akan dapat menjaga suhu rumah saat musim hujan. Tentu saja rumah dengan lantai tanah lebih adem dari lantai keramik.

Masyarakat sini juga punya alasan lain mengapa memilih lantai tanah dari kayu, karena mereka percaya jika manusia berasal dari tanah, dan nantinya saat mati akan kembali ke tanah. Menggunakan tanah sebagai lantai juga adalah bentuk pengingat untuk tidak sombong dan selalu mengingat bahwa hidup memiliki batas akhir.
3. Rumah adat Sasak Ende: Mengepel lantai dengan kotoran sapi dan abu jerami.
Bukan karena hampir seluruh penduduk memelihara sapi dan bertani , tapi karena kotoran sapi dan jerami dapat membantu mengeratkan kembali lantai tanah liat yang retak. Selain itu campuran yang kotoran sapi dan jerami dipercaya sangat berguna untuk maintenance kualitas lantai rumah. Selain itu, campuran dua unsur alam ini juga membantu menghalau nyamuk.
Kotoran sapi yang digunakan juga bukan kotoran sapi sembarangan, tapi yang masih segar jadi baunya akan sedikit seperti bau rumput dengan suhu yang hangat. Jika beruntung, kamu dapat melihat prosesi mengepel lantai ini secara langsung, kamu juga bisa mencoba membantu masyarakat mengepel lantai dengan kotoran sapi.


4. Rumah adat Sasak Ende: Membangun Rumah sesuai kebutuhan.
Jauh berbeda dengan kondisi masyarakat zaman now yang punya rumah tinggi-besar miskin fungsi dan makna. Maka leluhur Desa Sasak Ende, benar-benar memahami jika membangun rumah bukan soal siapa yang lebih besar dan lebih indah, tapi soal apakah setiap ruangan dapat di fungsikan dengan baik dan memfasilitasi penghuninya dengan baik.

Bale Tani, umumnya punya tiga ruangan. Ruangan pertama, disebut “Inen Bale” atau induk rumah biasanya dihuni oleh para perempuan. Kedua, disebut “Bale duah” (Rumah luar) untuk para lelaki. Ketiga, ada “Bale Dalem” (Rumah Dalam) yang merupakan tempat menaruh harta benda.
5. Rumah adat Sasak Ende: Dibangun di tempat dan waktu yang baik.
Seperti yang dikatakan tadi, kalau Bale punya makna filosofis yang tinggi. Orang Sasak percaya jika membangun rumah pada waktu yang baik akan mendatangkan kebaikan pada penghuninya, begitu juga sebaliknya. Begitu juga dengan tempat, sebuah rumah harus berdiri di tanah yang baik, bukan tempat sampah, atau bekas perapian.

Fasilitas dan cara menuju kampung tradisional Suku Sasak Ende
Jika ingin merasakan suasana antik dan klasik ini, kamu cuma perlu waktu 60 menit dari pusat kota Mataram, dan 20 menit dari Bandara Internasional Lombok. Sedangkan, kalau dari Desa Sade, kamu tinggal berjalan santai 5-10 menit untuk mencapainya.
Untuk fasiltas sendiri, Desa Sasak Ende juga lengkap, ada toilet dan Masjid. Tentu saja masjidnya punya bentuk yang selaras dengan bangunan di sekitarnya. Selain itu, kamu tidak perlu balik lagi ke Desa Sade membeli buah tangan. Kamu bisa masuk ke koperasi Desa Ende yang juga menjual berbagai jenis kerajinan, dan kain tenun yang di tenun asli oleh perempuan Desa setempat.



Jika kamu berkunjung kemari, siapkan telingamu untuk mendengar lebar-lebar dan air minum agar tidak haus yaaaa…Karena kamu harus bertanya banyak-banyak untuk memahami lebih dalam makna arsitektur yang punya bentuk asli dari zaman kerajaan Pejanggik. Gimana, sudah siap Time-travel ke 500 tahun yang lalu?
Gallery Foto atraksi Presean, menenun, dan musik Gendang Beleq di desa Sasak Ende





